Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Mendukung Tata Kelola Pupuk Subsidi agar Tepat Sasaran



Oleh: Astari Kusuma Dewi


Mendukung pelaksanaan tata kelola pupuk subsidi sudah seharusnya kita lakukan sebagai masyarakat. Pengelolaan pupuk bersubsidi yang tepat sasaran akan membuat penyalurannya menjadi lebih optimal, sehingga mampu mendorong optimalisasi hasil pertanian.

Pada 8 Juli 2022, Pemerintah resmi membatasi subsidi pupuk ke petani. Hal ini seiring dengan diundangkannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian. 

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan), Ali Jamil menerangkan bahwa sebelum ini terdapat enam jenis pupuk yang disubsidi. Namun, menyusul terjadinya gejolak geopoitik global akibat Perang antara Rusia-Ukraina yang berimbas pada kenaikan harga pupuk dunia, maka saat ini hanya dua  jenis pupuk yang disubsidi, yaitu Urea dan NPK (Nitrogen, Phospat, dan Kalium).

Ali menambahkan bila kenaikan harga energi baik minyak maupun gas turut berdampak kepada kenaikan harga pupuk global. Hal ini mengingat apabila salah satu bahan baku pupuk mengalami kenaikan, maka harga pupuk dunia pun mengalami kenaikan. Laporan dari World Bank menyatakan kenaikan harga pupuk sudah mencapai 30% di 2022.

Di dalam Permentan Nomor 10 Tahun 2022 ini, selain jenis pupuk yang dibatasi, komoditas pupuk subsidi juga dipangkas. Sebelumnya, alokasi pupuk subsidi untuk 70 jenis komoditas, namun saat ini pupuk subsidi hanya diperuntukkan untuk 9 komoditas utama. Kesembilan komoditas utama ini adalah padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi, dan kakao.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Musdhalifah Machmud mengatakan jenis pupuk subsidi akan disalurkan untuk 9 komoditas utama demi mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang lebih baik di masa depan. Saat ini Pemerintah menyediakan anggaran Rp. 25 Triliun untuk alokasi pupuk bersubsidi yang diharapkan dapat menjangkau paling tidak 16 juta petani di Indonesia.

Musdhalifah kemudian menambahkan bahwa pada saat ini tengah dilakukan perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi. Perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi ini dilakukan dengan digitalisasi dalam proses distribusi maupun dalam penebusan pupuk bersubsidi, juga dalam rangka penyiapan data penerima subsidi agar lebih tepat sasaran. 

Dirinya menyebutkan, kebijakan pupuk subsidi merupakan langkah strategis dari Pemerintah Indonesia untuk mengoptimalkan penyaluran pupuk bersubsidi, baik kepada petani serta untuk mendorong optimalisasi hasil pertanian, menjaga ketahanan pangan, dan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Pemberian pupuk subsidi akan diberikan kepada petani yang memiliki kriteria tertentu. Petani yang berhak menjadi penerima pupuk bersubsidi harus memiliki lahan garapan maksimal 2 hektare per musim, dan harus tergabung ke dalam kelompok tani serta terdaftar dalam Simluhtan (Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian).

Simluhtan merupakan Sistem Manajemen Penyuluhan Pertanian, yang menyajikan database berbasis online yang dibangun untuk meningkatkan kualitas pendataan kelembagaan penyuluhan, ketenagaan penyuluhan dan kelembagaan pelaku utama yang akurat, sehingga dapat dimanfaatkan dalam penetapan kebijakan penyuluhan maupun pertanian secara luas. Simluhtan ini merupakan acuan bagi pengelola data oleh admin di pusat dan daerah dalam melakukan proses input.

Petani yang memenuhi syarat sebagai penerima pupuk bersubsidi ditetapkan di setiap tingkatan pemerintah oleh pejabat terkait. Penetapan alokasi pupuk bersubsidi di tingkat pusat ditetapkan oleh Kementan. Lalu alokasi di tingkat provinsi ditetapkan oleh Gubernur, kemudian Bupati/Wali Kota menetapkan di tingkat kabupaten/kota. 

Perbaikan sistem ini dilakukan untuk memberikan kemudahan, keterbukaan, dan transparansi dari pengguna pupuk bersubsidi. Penyaluran pupuk bersubsidi dari kios pengecer kepada petani menggunakan Kartu Tani dan dilakukan melalui mesin Electronic Data Capture dan/atau aplikasi digital. Apabila dalam penyalurannya Kartu Tani belum tersedia, maka penyaluran dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDMP) Kementan, Dedi Nursyamsi menyebut bahwa pemberian subsidi kepada pupuk Urea dan pupuk NPK  dikarenakan pupuk tersebut merupakan unsur hara makro primer (utama) yang dibutuhkan oleh banyak jenis tanaman pangan. Sebagai informasi, unsur hara makro adalah unsur-unsur hara yang dibutuhkan tumbuhan dalam jumlah yang relatif besar, seperti Nitrogen (N), Fosfor atau Phosphor (P), serta Kalium (K), Magnesium (Mg), Kalsium (K), Belerang atau Sulfur (S).

Sementara itu, Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia, Gusrizal mengatakan siap untuk mendukung program pupuk bersubsudi. Dirinya memastikan bahwa pabrik pupuk urea maupun pupuk NPK beroperasi dengan baik. Pabrik Pupuk Indonesia juga mengembangkan sistem distribusi yang dapat menyalurkan pupuk bersubsidi sesuai alokasi yang ditetapkan pemerintah sesuai aturan yang berlaku. 

Gusrizal menambahkan pada rencana kerja tahun 2022, Pupuk Indonesia merencanakan untuk memproduksi sekitar 8.096.000 ton pupuk urea dalam setahun, sedangkan untuk pupuk NPK rencana produksi sebesar 3.083.500 ton. Pupuk Indonesia, lanjut Gusrizal, berkontribusi untuk penyempurnaan pengembangan sistem digital. Dimana sistem ini disebut ritel management system, yang merupakan penebusan di kios. Selain itu, pihaknya juga sedang mengembangkan product tracking dari gudang provinsi ke gudang penyalur. 

Penyaluran pupuk subsidi tepat sasaran adalah langkah kongkrit yang diupayakan Pemerintah Indonesia untuk menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Implementasi pengelolaan pupuk subsidi mulai dari pengadaan, penyaluran, serta ketentuan dalam stoknya harus diperhatikan dengan cermat agar hasilnya tepat sasaran. Semoga hasil dari kebijakan ini menjadi pintu gerbang pembuka dalam upaya kita menuju swasembada pangan di Indonesia.


*)Penulis adalah kontributor untuk Pertiwi Institute